Sifat Iri


  

Dinul Islam sangat melarang kepada kaum muslimin terhadap sifat iri (al-haqad). Seorang muslim yang mukrnin sudah seharusnya untuk menjauhi sekaligus meninggalkan sifat iri. Oleh karenanya, dalam kehidupan seorang mukmin harus benar-benar waspada dan berhati-hati dengannya. Di dalam surat an-nisaa' ayat ke-32, secara operasional Allah melarang kepada seorang mukmin agar tidak mempunyai sifat iri. "Dan janganlah kalian iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak dari sebagian jang lain."
وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللّٰهُ بِهٖ بَعْضَكُمْ عَلٰى بَعْضٍ

Telah difirmankan Allah SWT, "Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kalian terhadap pemberian-Nya kepada kalian, maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan" (Qs. al-Maa'idah: 48)
وَلَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ لَجَعَلَكُمْ اُمَّةً وَّاحِدَةً وَّلٰكِنْ لِّيَبْلُوَكُمْ فِيْ مَآ اٰتٰىكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرٰتِۗ
Maraknya sifat iri di antara manusia, lebih dikarenakan banyaknya sebab yang menimbulkan sifat tercela tersebut. Kenyataan ini banyak terjadi di antara sesama teman, sejawat, saudara atau saudara sepupu. Mereka saling iri karena adanya persaingan dengan orang lain untuk mendapatkan satu maksud yang sama-sama diinginkannya, sehingga diantaranya timbul rasa saling membenci.

Oleh karena, dapat dilihat dalam kehidupan keseharian seorang anak manusia, orang yang berilmu (al-aalim) lebih banyak memiliki iri kepada sesama orang yang berilmu, ketimbang orang yang ahli ibadah. Seorang yang ahli ibadah (al-aabid) akan lebih banyak bersifat iri kepada orang yang ahli ibadah, ketimbang seorang ahli ilmu. Seorang pedagang akan mempunyai iri terhadap pedagang lainnya, ketimbang iri kepada seorang politisi. Seorang politisi lebih cenderung iri terhadap sesama politisi, ketimbang iri kepada seorang petani. Hal ini perkecualian, bila ada sebab-sebab tertentu. Dikarenakan tujuan setiap orang tentu berbeda dengan tujuan orang lain. Munculnya sifat iri dikarenakan terjadinya persaingan dan ambisi untuk mendapatkan tujuan yang sama, dari beberapa orang yang menginginkannya. Tujuan yang sama tidak akan mempersatukan dua orang yang memperebutkan satu tujuan itu, karena sifat irinya.

Akan tetapi. sudah menjadi ketetapan Allah, bila umat manusia itu memang tidak akan memiliki tujuan yang sama dalam kehidupannya, terlepas adanya sifat iri atau tidak.

Pokok Iri Itu Cinta Dunia

Sifat iri itu merupakan sifat bawaan setiap manusia, akan tetapi ada manusia yang mampu membirnbingnya dengan jalan dinul Islam. Namun masih banyak umat manusia yang lalai dengan penyakit hati yang tercela tersebut. Sehingga tidak pernah disadarinya, bahwa sebenarnya sebagai seorang manusia, dirinya —dalam hal ini hatinya— telah bercokol penyakit yang sangat membahayakan kehidupan dirinya dan orang lain.

Pokok dari persoalan ini adalah adanya cinta dunia (hubbud-dunya). Perilaku cinta dunia akan membuat sesak napas bagi pelakunya. Karena dia akan. merasa tersaingi dan selalu curiga terhadap siapa saja yang hendak menyamainya. Apakah itu masalah harta benda, jabatan, kedudukan, kekuasaan, wanita, kehormatan, maupun uang. Sehingga orang-orang yang berperilaku demikian., semakin hari merasa semakin sempit bumi yang dipijaknya.

Berbeda dengan seorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya (saalik). Dalam hidupnya tidak pernah merasa tersaingi dengan siapa pun. Sebaliknya, akan merasa senang bila ada seseorang yang telah mampu meningkatkan pengetahuannya akan Allah (ma'rifatu-llaah) terhadap agama Islam (ma'rifatud-diinil islaarn), dan cintanya kepada Nabi SAW (ma'rifatun-nabii).

Karena itu sesama 'ulamaa'ul-aamil tidak akan pernah terjadi saling iri. Sebab tujuan para ulama' tersebut hanya untuk ber-ma'rifah, dengan harapan akan mendapat kedudukan yang mardliah di sisi Allah. Untuk mencapai jenjang spiritual seperti itu, sesama salik tidak akan saling iri itu merupakan akhlak dan sekaligus sifat tercela yang dilarang Allah. Sehingga yang dilakukan para ularna', tidak lain adalah saling melakukan pengendalian diri dan percaya diri terhadap pencapaian ilmunya. Cuma saja, bila itu 'ulamaa' usy-syuu memperebutkan harta benda, kedudukan, kehormatan, bahkan seorang wanita; maka sifat iri akan muncul pula dalam kalbunya.

Harta dan ilmu sangatlah berbeda. Harta tidak akan terpegang di tangan selagi belum pindah dari tangan orang Karena hakikat harta cuma berpindah tangan dari satu orang kepada orang lainnya, demikian seterusnya. Sedangkan ilmu pengetahuan selalu berada pada kalbu dan pikiran seseorang yang mengajarkan ilmunya. Seorang 'ulama' ul-aamil akan merasa nikmat dan senang manakala dapat menularkan ilmunya kepada orang lain, karena sesungguhnya ilmunya Allah tidak akan habis dengan diajarkannya, sebaliknya malah akan bertambah dan bermanfaat.

Jadi, munculnya sifat iri itu lebih karena disebabkan, adanya orang lain yang menyainginya untuk suatu tujuan yang dapat mempersempit kesempatannya mendapatkan tujuan itu secara menyeluruh.

Bila seorang muslim itu menyayangi dirinya, sudah barang tentu dia akan mencari kenikmatan dan kesenangan yang bersifat kekal dan tidak ada pesaingnya. Realitas tersebut tidak akan ditemukan di dalam dunia, melainkan hanya dengan rnengetahui kebesaran dan kekuasan Allah dengan segala keajaiban - keajaiban-Nya. Dan perasaan ini pun tidak mudah untuk mendapatkannya. "Jika kalian merindukan pengetahuan tentang Allah, namun kalian belum mendapatkannya lalu hasrat kalian melemah, maka kalian bukanlah orang yang jantan. Kalian tak jauh berbeda dengan orang lain pada umumnya. Sebab kerinduan itu akan muncul setelah merasakan. Barangsiapa yang belum merasakan, tentu tidak akan mengetahuinya. Dan barangsiapa yang belum mengetahui tidak akan rindu. Barangsiapa yang tidak rindu tidak akan mencarinya. Maka, barangsiapa yang tidak mencarinya, tentu tidak akan mendapatkannya. Dan barangsiapa yang tidak mendapatkannya, maka dirinya akan tetap bersama orang-orang yang terhalang."

Sifat iri adalah salah satu dari penyakit hati yang sangat parah. Penyakit-penyakit hati, insya Allah hanya dapat disembuhkan dengan ilmu dan amal yang diimplemantasikan kedalam perilaku sabar, tawakal, dan syukur.

Dinul Islam mengajarkan, orang yang iri akan merusak diri dalam hidupnya sendiri, Bahkan aktivitas ibadahnya pun akan terganggu, malah tidak sedikit yang berujung dengan stres dan depresi. Bagi orang yang di iri tidak akan mendapatkan bahaya apa pun dalam kehidupan dunianya dan agamanya, bahkan orang yang di iri dapat mengambil manfaat dari irinya orang lain dalam urusan dunia dan agama. Disebabkan kenikmatan yang telah ditetapkan Allah atas diri seseorang akan berada padanya selama ketentuan waktu-Nya. Sementara tidak ada yang berbahaya atas orang yang di iri dalam urusan akhirat, karena orang tersebut sama sekali tidak berdosa karena di iri dan bahkan memperoleh manfaat, disebabkan orang yang di iri itu adalah orang yang telah didlalimi; terlebih manakala iri itu terwujud dalam perkataan dan perbuatan.

Dari uraian al-faqir ini dapatlah dimengerti, bila diri ini sebenarnya merupakan musuh terbesar dari nafsu syahwat kita. Sedangkan nafsu syahwat ini merupakan teman bagi musuh kita yang sebenarnva, yakni setan dan iblis. "Perumpamaan diri seperti orang yang melemparkan batu kepada musuhnya dengan maksud untuk membunuhnya, tetapi meleset. Bahkan batu itu mental dan mengenai mata kanannya. Kalian semakin marah, dan bertambah marah. Lalu, kalian kembali memungut batu dan melemparkannya lebih keras ke arah musuh. Namun seperti Iemparan yang pertama, batu itu mental dan mengenai mata kalian, akhirnya kedua mata kalian menjadi buta. Kalian pun semakin bertambah marah, kemudian melempar batu untuk ketiga kalimya. Sebagaimana lemparan lemparan sebelumnya, lemparan kali ini pun gagal dan mental mengenai kepala kalian , menjadi luka. Sementara musuh kalian tidak kurang suatu apa, bahkan mentertawakan perbuatan kalian. "

Dengan dernikian, therapi yang harus di lakukan adalah: (1) Sekuat tenaga rnenjauhi, rnaksiat dan mewaspadai sifat iri. (2) Membiasakan diri dengan perilaku sabar, tawakal, syukur, dan tawadlu' (3) Melatih diri untuk selalu berperilaku kasih-sayang terhadap sesama; (4) Menyadari bila kalbu itu perlu birnbingan, dan bimbingan terbaik yakni kembali ke jalan dinul Islarn, dan (5) Sadar bahwa setan dan iblis selalu menghendaki manusia bermaksiat kepada Allah. Oleh karena, jika kita menyadari sebagai seorang mukmin yang muslim, sudah barang tentu akan menghindari sifat iri tersebut. Karena azab Allah itu tak tertandingi pedihnya.

Nabi SAW bersabda, “Perumpamaan antara dunia dengan akhirat ibarat seorang diantara kalian mencelupkan jarinya ke dalam lautan, maka hendaklah ia melihat apa yang menempel padanya. Lalu beliau memberi isyarat dengan jari telunjuknya”. (HR. Ahmad)
مَا الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا كَمِثْلِ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَا يَرْجِعُ وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ
Abu Musa meriwayatkan, bahwa Nabi SAW bersabda, "Barangsiapa mencintai dunianya, akan menimbulkan mudlarat terhadap akhiratnya. Dan barangsiapa mencintai akhiratnya, akan menimbulkan mudlarat terhadap dunianya. Maka, hendaklah kalian lebih mementingkan yang kekal dari pada yang fana" (Hr.Ahmad, Hakim; Ibnu Hibban, dan Baghawi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar